Dia berteriak namun tak ada yang mendengar, dia berlari namun tak ada yang menghentikan, dia melihat sekelilingnya namun tak ada yang bisa ia lihat, dia menangis tapi tak ada yang menyadari. Tak ada satu orangpun yang mencoba untuk menoleh, melihatnya walau sesaat. Ia putus asa, ia tersandung kerikil dan ia jatuh. Ia sadar, hanya kerikil itu yang menghentikannya, bukan orang orang yang diharapkannya. Ia berbaring diatas rumput basah, sisa air hujan yang jatuh sewaktu ia berlari tadi. Bayangan putih menyilaukannya, ia ingin mengangkat kepala dan melihatnya, namun ia takut kecewa. Hatinya tak ingin melihat siapapun lagi, hatinya lelah kecewa. Tapi ia ingin tau, siapa itu. Sosok itu hadir, berjongkok dihadapannya, memasang senyum terindahnya, lalu berdiri, dan meninggalkannya sendiri lagi. Hatinya benar, hatinya telah kecewa lagi.
Ia terbangun dari mimpi gelapnya kembali ke dunia gelapnya, mimpi dan kehidupan nyatanya tidaklah jauh berbeda. Tidak dilihat, tidak didengar, tidak diperdulikan, dan ditinggalkan. Datang nyata, pergi semu. Seakan tidak seharusnya ia menikmati semua ini. Ia selalu berharap tidak seharusnya dia mengenal berbagai sifat orang didunia ini. Ini hanya terus membuatnya kecewa, ia bosan bertemu sekian ribu orang munafik dan pembohong. Nggak ada satupun manusia yang ia kenal yang benar benar membuatnya bahagia dan tidak meninggalkannya. Tidak ada satupun manusia yang benar benar betah berada disampingnya, menemaninya, mendengar cerita dan khayalan khayalannya. Mereka mudah bosan dengan semua cerita dan khayalannya. Dan ia tau, mereka seperti itu karna mereka tidak pernah bisa menerima kehadirannya dengan baik.
Dia berjalan dikehidupan nyatanya, dengan seribu warna pelangi difikirannya, membuatnya sejenak tersenyum terus menerus. Mereka datang--manusia manusia munafik dikehidupannya. Pelangi tadi berganti dengan awan hitam disertai kilat dan guntur yang silih berganti bergemuruh difikirannya, kini merambat ke tubuh hingga hatinya. Ia tau, hidup hanyalah drama indah yang menyedihkan. Dan ia pun tersenyum, mencoba terlihat bahwa ia senang berada dilingkungan itu. Beberapa saat mereka bersama, dia hanya diam, sesekali menjadi bahan ejekan manusia manusia munafik itu. Ia ikut tertawa, walau sebenarnya terluka. Ia benci direndahkan seperti itu. Sesaat mereka pergi, meninggalkannya sendiri. Awan hitam tadi lalu menumpahkan isinya, membuat basah fikirannya. Ia menangis, ia terlalu sering dipermainkan seperti ini. Ia lelah. Tangisnya reda, namun kilat difikirannya terus menyambar. Seakan menyadarkannya bahwa sesuatu buruk sebentar lagi akan terjadi.
Benar saja, ia bertemu manusia munafik lainnya. Manusia itu menceritakan semua hal yang saat itu belum siap ia dengar. Rasanya ia ingin marah, digambarkan dengan guntur yang terus menerus menguasai fikirannya. Ia ingin meninju orang dihadapannya itu yang sudah bicara seenak mulutnya saja, tidak tau apakah ia akan terluka mendengarnya atau tidak. Manusia munafik itu tidak tau, karna ia tidak pernah benar benar mengenal dirinya. Ia tetap tersenyum, mencoba terlihat bahagia, walau yang dikatakan manusia itu benar benar menurunkan mentalnya. Ia ikut tertawa dibalik apapun masalahnya, ia senang menertawakan hidupnya. Terlihat seakan tidak pernah ada masalah.
Ia kembali ke rumahnya, berbaring ditempat tidurnya, berharap malam ini ia bisa masuk ke mimpi hitamnya. Mimpi gelap yang tak pernah ada satu orangpun yang tertarik untuk mencoba melihatnya. Disini ia tidak perlu berpura-pura. Disini ia bisa menangis sepuas yang ia suka. Sepuasnya bahkan mungkin selamanya. Dan satu yang terpenting, disini ia takkan bertemu manusia manusia munafik itu. Manusia yang selalu terlihat memaksanya untuk tersenyum, karena mereka tidak pernah mengetahui bahwa sebenarnya dia rapuh dan tidak sebahagia saat mereka memaksanya untuk tersenyum dan tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar